Mukaddimah Kajian Tadzkiratus Sami wal Mutakallim
Bersama Pemateri :
Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah
Mukaddimah Kajian Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 12 Safar 1446 H / 17 Agustus 2024 M.
Kajian Islam Tentang Mukaddimah Kajian Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim
Satu catatan penting dari sahabat Ibnu Abbas, ketika beliau rela untuk tidur di depan pintu rumah orang yang akan diambil ilmunya. Beliau juga pernah hampir sama membawakan tali kekang unta gurunya, Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum. Maka beliau mengatakan, “Biarkan saya membawa ini sendiri.” Beliau menjelaskan, “Demikianlah kita diperintahkan untuk menghormati guru-guru kita.”
Perlu diperhatikan, di zaman ini, banyak orang belajar lebih terdorong oleh urusan finansial. Mereka merasa sudah berhak mendapatkan jatah dan fasilitas setelah membayar, kemudian menyandang gelar, lalu mungkin membanggakan sesuatu. Jika dibandingkan dengan kebiasaan para ulama, kita merasa sangat malu karena tidak seperti mereka dalam belajar, apalagi dalam hal keikhlasan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari bagaimana keteladanan mereka dalam beradab.
Syaikh Shalih al-Ushaimi sering mengingatkan hal ini. Beliau pernah bercerita, ada seseorang yang sudah bergelar Doktor ingin belajar kepadanya. Orang itu berkata, “Saya ingin belajar kepada Anda.” Syaikh menjawab, “Baik, silakan. Kalau begitu, kita mulai dengan membaca kitab Tsalatsatul Ushul.” Namun, orang itu merasa, “Saya sudah Doktor, sudah banyak membaca buku. Kalau hanya membaca Tsalatsatul Ushul, saya bisa melakukannya sendiri.” Dia ingin menentukan sendiri bukunya, dan sejak awal sudah ngeyel dan membantah terhadap gurunya.
Subhanallah, ternyata para ulama mengatakan bahwa cara yang salah bisa membuat seseorang gagal di awal. Dahulu, para ulama belajar sampai 30 tahun. Bagaimana ceritanya mereka bisa belajar selama itu? Mereka melakukan mulazamah (menyertai guru) hingga 30 tahun, sedangkan pendidikan formal saat ini, dari jenjang TK, SD, SMP, SMA, hingga S3, itu tidak sampai 30 tahun. Metode para ulama dalam majelisnya dipenuhi dengan keagungan, kehormatan, dan kewibawaan. Majelis ilmu dipenuhi dengan ketenangan, kehormatan, dan juga kewibawaan.
Bahkan di zaman Imam Abdurrahman bin Mahdi, tidak ada yang berani meraut penanya, berbicara, atau tersenyum selama majelis berlangsung. Ini yang jarang kita temui di zaman sekarang. Syaikh al-Ushaimi pernah mengatakan bahwa beliau ingin menerapkan hal ini. Di majelis khusus, beliau tidak membolehkan seorang pun duduk di belakang. Beliau akan menegur orang yang duduk di belakang dan mengatakan, “Antum mau hadir atau hanya ingin mendengar-dengar saja?” Jika ingin hadir, datanglah lebih dekat. Syaikh al-Ushaimi juga pernah menegur salah satu muridnya yang menunduk terus ke arah buku. Beliau berkata, “Angkat kepalamu, lihat ke sini.”
Syaikh al-Ushaimi pernah marah ketika akan menutup kajiannya. Tiba-tiba, murid-muridnya sudah berdiri. Beliau berkata, “Kalian mau ke mana? Kenapa kalian tidak sabar? Kita datang untuk belajar bersama. Saya juga ingin belajar bersama kalian, tapi kenapa kita tidak bisa menerapkan adab? Kenapa tidak sabar sedikit, tunggu saya keluar dulu.”
Belajar tentang adab belajar menjadi sangat penting, karena adab adalah fondasi yang menentukan seberapa bermanfaat ilmu yang kita peroleh.
Ibnu Jamaah rahimahullah menulis buku khusus tentang adab, dan kita akan mempelajarinya. Dalam buku tersebut, beliau menyebutkan dalil-dalil tentang keistimewaan ilmu. Sehingga penting bagi kita untuk menyadari bahwa ilmu yang kita pelajari ini lebih terhormat daripada apa yang dipelajari oleh ahli dunia. Orang-orang yang mempelajari ilmu dunia biasanya harus mengeluarkan banyak modal, sedangkan belajar agama sering kali bisa didapatkan secara gratis hanya dengan menghadiri pengajian. Namun, karena kurangnya penghargaan terhadap ilmu, ilmu agama terkadang dianggap murah.
Beliau juga menjelaskan tentang adab seorang guru dan adab seorang penuntut ilmu. Setelah itu, beliau menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang menghargai bukunya. Para ulama dahulu sangat menghargai buku mereka, mereka tidak akan mencoret-coret buku tersebut, apalagi meletakkannya di tempat yang tidak semestinya atau merusaknya. Jika kita membaca tulisan dan contoh dari para ulama, kita akan memahami betapa mereka menghormati buku-buku mereka.
Dalam kitab Taqyidul Ilm karya Khatib al-Baghdadi, diceritakan bahwa jika seseorang ingin meminjam buku dengan mengutus orang, dia tidak akan dipinjami. Misalnya, jika dia tidak bisa membaca buku tersebut dengan baik, maka tidak akan diizinkan untuk meminjamnya. Ini adalah bentuk pengagungan ilmu, di mana ilmu hanya diberikan kepada yang benar-benar ahlinya. Jika seseorang tidak ahli, maka memberikan ilmu kepadanya akan menjadi mubadzir dan tidak bisa dihargai dengan baik.
Ada cerita tentang seseorang yang meminjam buku dan ketika buku tersebut dikembalikan, ditemukan ada bekas minyak pada halamannya. Sang pemilik buku pun memberikan buku bersama dengan sebuah piring pada kesempatan pinjaman berikutnya, sambil berkata, “Ini piring untukmu, jika makan, gunakan piring, bukan buku saya.” Begitu besar penghargaan mereka terhadap ilmu hingga jika ada yang meminjam buku, mereka meminta jaminan.
Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim
Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim ditulis oleh seorang qadhi. Pada zaman dahulu, qadhi adalah pejabat yang dilantik karena ilmunya. Banyak ulama yang mendapat gelar al-Qadhi, seperti al-Qadhi Abu Ya’la dan al-Qadhi Abu Yusuf. Kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak ingin menerima jabatan tersebut, bahkan ada yang pura-pura gila atau dihukum, seperti Abu Hanifah yang dihukum karena menolak menjadi qadhi.
Tugas seorang qadhi sangat berat, sehingga beberapa ulama yang tadinya hafalannya kuat, seperti Syarik bin Abdullah An-Nakha’i, mulai mengalami penurunan hafalan setelah menjabat sebagai qadhi. Riwayat hadits yang diambil dari mereka sebelum menjadi qadhi masih diterima, namun setelah menjabat, kualitas riwayat mereka menurun dan tidak lagi dapat diandalkan.
Memang, jabatan itu menyibukkan, apalagi jabatan yang dianggap “panas” dan menggiurkan banyak orang. Namun, pada akhirnya, jabatan tersebut hanyalah tanggung jawab yang membuat seseorang sibuk dari belajar.
Saya pernah bertanya kepada seorang dosen, “Syaikh, sekarang Anda menjadi dekan, padahal sudah profesor. Apakah masih punya waktu untuk mengatur semuanya?” Beliau menjawab, “Waktu untuk membaca saja hilang.” Saya katakan, “Tapi Anda membaca disertasi-disertasi untuk diuji, itu juga bisa dimanfaatkan.” Beliau menjawab, “Beda, membaca disertasi untuk diuji adalah mencari kesalahan. Tapi membaca karya ulama untuk mengambil manfaat (istifadah) adalah yang membutuhkan waktu dan itulah barangkali yang ikhlas.”
Ketika membaca karya para ulama, kita ingin meneladani metode mereka dalam menyusun kalimat yang itu betul-betul mereka tulis dengan penuh keikhlasan dan ketawadhuan. Hal ini bisa sangat berbeda dengan tulisan orang zaman sekarang, meskipun sama-sama dalam bahasa Arab.
Mengenal Penulis Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim
Penulis kitab ini adalah seorang fakih sekaligus ahli hadits bernama Badruddin Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim Ibnu Jamaah, yang wafat pada tahun 733 Hijriah dalam usia sekitar 94 tahun. Usia ini tergolong tua, namun jika Allah ‘Azza wa Jalla memberikan taufik, seseorang tetap dapat memanfaatkan usia tua untuk terus mengajar.
Ibnu Jamaah rahimahullah sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Ibrahim Ibnu Jamaah, yang merupakan seorang ahli fikih. Beliau belajar Al-Qur’an hingga khatam dari ayahnya. Hal ini menjadi kebiasaan para ulama, di mana mereka harus menghafal Al-Qur’an terlebih dahulu. Bahkan, mereka menganggap bahwa tidak hafal Al-Qur’an adalah aib.
Kebanyakan ulama belajar Al-Qur’an sebelum baligh, bahkan jika bisa, belajar dari orang tua mereka. Contohnya, Abdullah bin Imam Ahmad belajar Al-Qur’an hingga khatam dari ayahnya sendiri. Di zaman sekarang, mungkin bisa dicontohkan dengan seorang ibu yang hafidzah.
Ibnu Jamaah juga belajar kepada beberapa ulama ahli fikih dan bahasa, termasuk Ibnu Malik, yang kita kenal sebagai pengarang karya Alfiyah Ibnu Malik. Beliau berkali-kali diangkat dan dicopot dari jabatan qadhi. Pernah menjadi qadhi di daerah Syam, kemudian dicopot, pindah ke Mesir, dan kembali dicopot. Setelah Ibnu Daqiqil ‘Ied meninggal pada tahun 702 Hijriah—beliau adalah pengarang kitab Ihkamul Ahkam dan seorang qadhi juga—Ibnu Jamaah diangkat menjadi qadhi. Jabatan ini beliau emban beberapa tahun, namun kembali dicopot berkali-kali.
Meskipun demikian, beliau masih sempat menulis kitab tentang adab dan sopan santun dalam belajar. Beliau dikenal sebagai orang yang sangat memperhatikan penampilan, dengan baju yang bersih dan rapi. Ibnu Jamaah digambarkan sebagai seorang yang berpenampilan baik, putih, dengan jenggot melingkar. Beliau juga dikenal tenang, santai, dan berwibawa. Ibnu Jamaah wafat pada tahun 733 Hijriah.
Mukaddimah Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim
Ibnu Jamaah rahimahullah menyebutkan di awal, setelah memuji Allah dan berselawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang menjadi dasar untuk menyebutkan kitab ini. Firman Allah:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang sangat mulia.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Terkait kata “Sayyidina”, kita sering mendengar penjelasan para ulama bahwa boleh seseorang menggunakannya. Ini bukan bid’ah jika kita mengatakan “Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”. Tidak ada masalah, karena Nabi pernah mengatakan:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ
“Aku adalah pemimpin anak Adam, dan ini bukanlah kesombongan.” (HR. Muslim).
Namun, jika kita sedang membaca sebuah doa tertentu dalam shalat, maka yang paling kuat adalah berpegang dengan yang ditegaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang bagaimana cara menyebutkannya, dan ini yang lebih selamat.
Ibnu Jamaah rahimahullah juga menyebutkan bahwa salah satu hal yang perlu diawali oleh seorang pemuda yang berakal adalah memulai perjalanan belajarnya dengan memperbaiki akhlak dan adab. Belajar di awal usia muda sangat penting, dan dia perlu membiasakan dirinya untuk beradab dengan baik. Dalam hal ini, baik akal maupun dalil sepakat bahwa orang yang memiliki akhlak yang baik pasti akan dipuji dan diucapkan terima kasih.
Kita tidak sedang membahas mengapa dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diusir, dicela, dan ditolak. Bukan karena adabnya jelek, melainkan karena beliau mendakwahkan tauhid. Itulah yang menyebabkan orang-orang kafir tidak siap menerimanya.
Orang yang paling berhak memiliki akhlak yang baik adalah orang yang berilmu. Jika orang awam dididik untuk menghormati orang yang lebih tua, kenapa orang berilmu malah tidak demikian?
Dikatakan bahwa ilmu itu indah dan hanya bisa diraih oleh orang yang memiliki keindahan (akhlak). Dengan ilmu, seseorang dapat mencapai puncak kemuliaan dan posisi terdepan sebagai pewaris para nabi. Karena mereka mengerti akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat setelahnya.
Ucapan para ulama tentang pentingnya adab
Muhammad Ibnu Sirin rahimahullah (wafat 110 H) menyatakan bahwa dulu, guru-gurunya belajar adab dari gurunya sebelum mempelajari inti ilmu.
Hasan al-Bashri rahimahullah (wafat 110 H) mengatakan bahwa dahulu orang perlu melakukan perjalanan jauh selama bertahun-tahun untuk mempelajari hal-hal yang akan mempengaruhi kebiasaan/karakter/akhlak mereka.
Sufyan Ibnu Uyaynah rahimahullah (wafat 198 H) berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah timbangan dan ukuran terbesar. Semua pembahasan harus diukur dengan pendapat, akhlak, sirah dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kesimpulannya adalah orang yang ingin berakhlak baik harus belajar hadits, agar tidak berakhlak sesuai kebiasaan masyarakat yang mungkin melanggar syariat. Jangan sampai kita sopan kepada orang tetapi tidak sopan kepada Allah.
Habib Ibnu Syahid rahimahullah (wafat 145 H) mengatakan kepada anaknya, “Wahai anakku, belajarlah kepada para fuqaha dan ulama, ambillah ilmu dan adab dari mereka. Sungguh, adab yang kamu pelajari lebih aku sukai daripada banyaknya hadits yang kamu pelajari.”
Makhlad Ibnu Husain rahimahullah (wafat 191 H) juga berkata kepada Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah (wafat 181 H), “Kita lebih butuh kepada adab meskipun sedikit, daripada banyak hadits.” Hal ini menekankan pentingnya akhlak dalam menuntut ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya tentang nafsu (kecintaan) beliau dalam belajar adab, dan beliau menjawab, “Ketika aku mendengar dengan telingaku satu pembahasan tentang adab, aku berharap seluruh anggota tubuhku memiliki telinga untuk mendengar pembahasan tentang adab itu.”
Ibnu Jamaah rahimahullah menyatakan bahwa alasan beliau menulis buku ini adalah untuk mengingatkan pentingnya akhlak dalam menuntut ilmu, baik bagi guru maupun murid. Beliau juga menekankan pentingnya menghormati tempat belajar, karena ilmu tidak akan terhormat jika tempatnya tidak dihargai.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54391-mukaddimah-kajian-tadzkiratus-sami-wal-mutakallim/